klik di sini

“Dan bergaullah dengan mereka (anak-anak) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah 2:83)
Penulis : Janan, S.Pd. (Kepala SDIT Al Ibrah)
sditalibrah.sch.id – Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan kita kembali riuh. Di sebuah SMA negeri di Lebak, Banten, seorang kepala sekolah menampar siswanya yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Dalam hitungan jam, video dan beritanya viral di media sosial. Komentar pun mengalir deras . Ada yang marah, ada yang membela, ada pula yang hanya bisa mengelus dada.
Menurut laporan Detik.com dan Liputan6.com, peristiwa itu terjadi di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, pada Jumat, 10 Oktober 2025. Seorang siswa berinisial ILP tertangkap basah merokok di area kantin belakang sekolah. Kepala sekolah, Dini Fitri, spontan menegur keras, lalu menampar pipinya — katanya, “bukan karena benci, tapi karena kecewa.”
Namun, orang tua siswa tidak bisa menerima tindakan itu. Mereka melapor ke polisi. Kasus pun bergulir. Kepala sekolah dinonaktifkan sementara, dan media mulai mengangkatnya ke permukaan.
Sekolah berubah gaduh. Ratusan siswa turun tangan, bahkan sempat mogok belajar. Ada yang membela kepala sekolah karena merasa beliau sosok yang peduli dan tegas, ada pula yang menuntut penyelesaian adil bagi temannya. Dalam hitungan hari, tamparan kecil itu menjelma menjadi perbincangan besar. Bukan hanya soal disiplin, tapi juga tentang batas antara mendidik dan melukai.
Ketika Cinta Mendidik Menjadi Luka
Kalau kita jujur, mungkin banyak di antara kita yang dulu juga pernah “merasakan” tamparan guru — bukan karena kebencian, tapi karena cinta yang keras kepala. Dulu, tamparan sering dianggap bagian dari pelajaran. Tapi zaman berubah. Kini, setiap tindakan fisik di ruang pendidikan berada dalam sorotan tajam. Anak-anak kita hidup di era baru: mereka tumbuh di tengah kesadaran hak asasi, perlindungan anak, dan digitalisasi informasi.
Namun, peristiwa ini tidak seharusnya hanya dilihat dari satu sisi. Sebab di balik tangan yang terangkat itu, ada hati seorang pendidik yang barangkali sedang kecewa — melihat anak didiknya merusak diri sendiri. Kepala sekolah itu mungkin khilaf dalam cara, tapi niatnya bisa jadi lahir dari keinginan mendidik, bukan menyakiti.
Pendidikan Islam: Tegas Tapi Penuh Kasih
Dalam Islam, mendidik bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi menumbuhkan akhlak. Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau pernah menegur dengan tegas, tapi tidak pernah memukul.
Allah SWT pun berfirman:
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”
(QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini sederhana tapi dalam maknanya. Hikmah berarti bijaksana: tahu kapan harus menegur, tahu kapan harus diam, dan tahu kapan harus memeluk. Dalam dunia pendidikan, hikmah berarti mampu menjaga hati murid agar tidak patah, meskipun sedang ditegur keras.
Maka, pelajaran penting dari peristiwa di Lebak ini bukan hanya tentang siapa yang salah, tapi bagaimana seharusnya kita mendidik dengan cara yang benar. Karena pendidikan tanpa kasih sayang bisa berubah menjadi kekerasan, dan kasih sayang tanpa ketegasan bisa berujung pada kelalaian.
Mendidik Tanpa Menampar
Kita semua sepakat: merokok di sekolah adalah pelanggaran serius. Tapi cara menegurnya juga menentukan hasilnya. Anak-anak sekarang bukan generasi yang takut pada tamparan, tapi mereka butuh alasan mengapa suatu tindakan salah. Mereka perlu didengar, bukan hanya diperintah.
Islam mengajarkan pendekatan tarbiyah membina hati, bukan hanya menghukum. Guru sebaiknya menjadi teladan, bukan algojo. Ketika anak melakukan kesalahan, itu kesempatan untuk menanamkan nilai, bukan menyalakan amarah.
Sebab sejatinya, pendidikan adalah seni mengubah hati , bukan sekadar mengatur perilaku.
Rekonsiliasi dan Harapan
Akhirnya, kabar baik datang. Kepala sekolah dan siswa itu bertemu, saling memaafkan, dan sepakat menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran bersama. (Liputan6.com). Langkah sederhana, tapi berharga: karena memaafkan adalah bagian dari mendidik juga.

Kita berharap, tamparan di Lebak menjadi tamparan kesadaran bagi semua pihak — bahwa mendidik butuh hati yang luas, bukan tangan yang ringan. Bahwa anak-anak kita perlu dibentuk dengan akhlak, bukan dengan rasa takut. Dan bahwa guru, orang tua, serta siswa, semuanya sedang sama-sama belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Menutup dengan Renungan
Dalam dunia pendidikan Islam, cinta dan disiplin bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua sayap yang harus seimbang. Terlalu lembut, anak bisa kehilangan arah. Terlalu keras, anak bisa kehilangan rasa. Maka tugas kita, para pendidik dan orang tua, adalah menemukan keseimbangannya.
Tamparan yang viral itu mungkin hanya satu peristiwa. Tapi gema maknanya jauh lebih besar: mengingatkan kita bahwa sekolah bukan tempat menghukum, melainkan tempat belajar — belajar tentang ilmu, tentang adab, dan tentang kasih sayang yang menuntun pada kebaikan.
Karena pada akhirnya, pendidikan sejati bukan tentang menaklukkan murid, tapi menumbuhkan manusia.
Recent Comments