Oleh : Janan, S.Pd. (kepala SDIT Al Ibrah Gresik)

Beberapa waktu terakhir, dunia pendidikan Indonesia kembali ramai dengan istilah baru — atau mungkin bukan benar-benar baru: pembelajaran mendalam (deep learning).
Istilah ini tiba-tiba sering muncul dalam seminar, surat edaran dinas, hingga forum-forum guru. Banyak yang bertanya: “Apa lagi ini? Kurikulum baru?”
Jawabannya: bukan.
Pembelajaran mendalam bukan kurikulum baru, tetapi cara berpikir baru tentang bagaimana proses belajar seharusnya terjadi di sekolah.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Dr. Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa pembelajaran mendalam adalah pendekatan untuk memperkuat kurikulum yang sudah ada, bukan menggantinya. Prinsipnya sederhana: agar siswa tidak hanya menghafal, tapi memahami, merasakan, dan mampu menerapkan apa yang mereka pelajari dalam kehidupan nyata.
Belajar Tak Sekadar Menghafal
Mari jujur.
Berapa banyak siswa yang bisa menjelaskan konsep “gaya gravitasi” setelah ulangan selesai?
Berapa yang masih mengingat rumus luas segitiga, tapi tidak tahu bagaimana menerapkannya untuk mengukur taman rumahnya sendiri?
Inilah tantangan besar kita: pendidikan sering berhenti di kepala, belum sampai ke hati dan perilaku.
Pembelajaran mendalam hadir untuk mengubah itu.
Ia mengajak guru dan siswa masuk lebih dalam — mencari makna di balik fakta, mengaitkan pelajaran dengan kehidupan, dan menumbuhkan kebiasaan berpikir kritis.
Anak-anak tidak sekadar dituntut menjawab soal, tetapi memahami mengapa sesuatu terjadi dan bagaimana mereka bisa berperan di dalamnya.
Landasan Hukum dan Arah Kebijakan
Agar tak disalahpahami sebagai wacana semata, penting untuk tahu bahwa pendekatan ini punya landasan hukum yang kuat.
Pemerintah melalui Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 secara tegas menempatkan pembelajaran mendalam sebagai strategi utama dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Regulasi ini merupakan penyempurnaan dari Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum.
Artinya, pembelajaran mendalam bukan hal yang berdiri sendiri, melainkan jiwa baru dari kurikulum yang sudah ada — baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka.
Prinsip yang ditekankan antara lain:
- Materi esensial: fokus pada konsep penting, bukan tumpukan konten.
- Kontekstual: pelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata.
- Reflektif: siswa diajak berpikir tentang proses belajar mereka.
- Joyful learning: belajar dengan kesadaran dan kebahagiaan.
Menteri Mu’ti bahkan menyebut bahwa pembelajaran mendalam adalah “pembelajaran yang mindful, meaningful, dan joyful.”
Artinya: sadar, bermakna, dan menyenangkan.
Mengapa Relevan dengan Zaman Ini?
Kita hidup di era banjir informasi.
Anak-anak bisa mencari data apa pun lewat ponsel dalam hitungan detik. Tapi, apakah mereka bisa memilah mana yang benar, mana yang palsu?
Apakah mereka bisa memahami, menilai, dan mengambil keputusan dari informasi itu?
Nah, di sinilah pembelajaran mendalam menjadi relevan.
Pendekatan ini bukan hanya soal mengajar, tetapi menyiapkan cara berpikir dan cara hidup.
Siswa diajak:
- Menganalisis, bukan hanya menerima.
- Bertanya, bukan sekadar mendengar.
- Mengaitkan pelajaran dengan realitas sosial, bukan hanya dengan ujian akhir.
Dalam konteks Indonesia hari ini — di mana literasi dan numerasi masih menjadi pekerjaan rumah besar — pembelajaran mendalam justru menjadi jalan keluar.
Ia menuntun siswa untuk paham lebih sedikit hal, tapi lebih dalam dan bermakna.
Baca juga : Mengenal lebih jauh Sekolah SDIT Al Ibrah
Guru sebagai Arsitek Makna
Namun, seindah apa pun konsepnya, pembelajaran mendalam tak akan hidup tanpa guru yang reflektif.
Guru bukan lagi “penyampai materi”, melainkan arsitek pengalaman belajar.
Ia menyiapkan ruang bagi anak untuk bertanya, berdiskusi, bahkan berbuat salah — karena dari kesalahanlah kedalaman lahir.
Mungkin di sinilah tantangan terbesarnya: mengubah budaya kelas.
Dari kelas yang serba cepat dan mengejar target, menjadi kelas yang memberi ruang bagi keheningan, eksplorasi, dan refleksi.
Perubahan ini butuh waktu.
Tapi bukankah pendidikan sejatinya memang perjalanan panjang untuk menjadi manusia?
Pendidikan Islam dan Dimensi Ruhani Pembelajaran Mendalam
Dalam perspektif Islam, pembelajaran mendalam sejatinya bukan hal baru.
Al-Qur’an sendiri sering mengajak manusia untuk tafakkur (merenung), tadabbur (memahami makna), dan tafaqquh (mendalami ilmu).
“Afala tatafakkarun?”
“Tidakkah kalian berpikir?”
(QS. Al-Baqarah: 44)
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa belajar bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi menumbuhkan kesadaran spiritual.
Dengan begitu, pendekatan pembelajaran mendalam sebenarnya sangat sejalan dengan fitrah pendidikan Islam: belajar untuk mengenal Allah, bukan sekadar mengejar nilai ujian.
Belajar yang Membekas, Bukan Sekadar Lulus
Pembelajaran mendalam mengingatkan kita bahwa inti pendidikan bukan terletak pada banyaknya materi yang disampaikan, tetapi pada makna yang tertanam di hati siswa.
Kita tidak butuh generasi yang hanya pandai menjawab soal, tetapi generasi yang mampu berpikir, berempati, dan bertindak dengan nilai.
Dan itu hanya mungkin lahir jika sekolah memberi ruang bagi belajar yang membekas.
Jadi, apakah pembelajaran mendalam masih relevan?
Bukan hanya relevan — ia justru menjadi kebutuhan paling mendesak bagi pendidikan Indonesia hari ini.
-Wallahu a’lam bish shawab-
———————————————————————————-
Sumber, Referensi & Dasar Hukum
- Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum.
- UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Pernyataan resmi Mendikdasmen Abdul Mu’ti dalam Siaran Pers Kemendikdasmen, September 2025.
- Portal Kurikulum Kemdikbudristek (https://kurikulum.kemdikbud.go.id).
- Menpan.go.id – “Mendikdasmen Paparkan Penerapan Deep Learning untuk Tingkatkan Mutu Pendidikan”.
Recent Comments