Penulis : Janan, S.Pd. (Kepala SDIT Al Ibrah)

Dalam dunia yang bergerak cepat, di mana informasi beredar lebih cepat dari cahaya, kita sedang diuji: bukan sekadar pada apa yang kita ketahui, tapi pada bagaimana kita menyikapi apa yang kita ketahui. Isu-isu besar seperti dugaan ijazah palsu seorang tokoh publik bisa dengan mudah membelah opini, menciptakan dua kubu yang saling menuding dan mencurigai. Dalam pusaran inilah, pendidikan Islam ditantang untuk tidak sekadar mencetak manusia cerdas, tapi juga manusia jujur, adil, dan bijak dalam bertindak

1. Mendidik Kejujuran Sejak Dini

Kejujuran bukan sekadar nilai pelengkap dalam pelajaran akhlak islami. Ia adalah inti dari karakter baik. Dalam dunia pendidikan, kita meyakini bahwa kejujuran adalah pondasi keberhasilan dunia dan akhirat. Ketika seorang anak dibiasakan berkata jujur, tidak mencontek saat ujian, tidak menutupi kesalahan, maka sesungguhnya kita sedang menanam benih kepemimpinan masa depan.

Allah berfirman dalam Al Quran Surat At-Taubah : 119 :

“Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.”

Dan Nabi bersabda:

“Kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di tengah godaan untuk “memoles citra“, “memanipulasi data“, atau “mencari aman“, kejujuran adalah jalan sepi yang harus diajarkan, dicontohkan, dan diperjuangkan oleh para pendidik. Karena pendidikan yang tidak berangkat dari kejujuran akan melahirkan generasi yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh secara moral.

Sebaliknya, dusta atau kebohongan adalah awal kehancuran karakter. Ia mungkin terlihat sepele di permukaan, tapi seperti rayap yang menggerogoti fondasi bangunan, dusta menghancurkan secara perlahan namun pasti. Satu kebohongan akan menuntut kebohongan lain untuk menutupinya, hingga akhirnya seseorang kehilangan arah dan identitas dirinya.

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang terus berlaku jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang terus berdusta akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Bayangkan, ketika seorang anak terbiasa berdusta untuk menghindari hukuman, ia sedang belajar bahwa manipulasi lebih aman daripada tanggung jawab. Jika hal ini tidak dikoreksi sejak awal, maka kelak ketika ia dewasa, ia mungkin akan memalsukan data, memutar fakta, bahkan membenarkan kebohongan demi keuntungan pribadi.

Dusta juga merupakan ciri utama orang munafik, sebagaimana dijelaskan Nabi SAW:

“Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia khianat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Pendidikan harus berani menjadikan kejujuran sebagai nilai yang hidup dalam budaya sekolah dan keluarga. Bukan hanya dihafalkan dalam pelajaran akhlak, tetapi dicontohkan dalam keseharian: ketika guru mengoreksi ujian dengan adil, ketika orang tua menepati janji, ketika murid tidak mencontek meski tidak diawasi.

Lebih dari sekadar nilai, kejujuran adalah benteng diri. Di era informasi yang bising dan seringkali penuh manipulasi, hanya mereka yang jujur yang mampu berdiri teguh tanpa tergelincir dalam arus fitnah dan kebohongan.

Baca juga : Hari Pendidikan Nasional 2025: Saatnya Bergerak untuk Masa Depan Pendidikan Indonesia

2. Menanamkan Bahaya Kebencian dalam Diskusi Publik

Kebencian adalah api kecil dalam hati yang bila dibiarkan akan membakar akal, menghanguskan adab, dan menyulut permusuhan. Dalam dunia yang dipenuhi informasi cepat dan emosi instan, kebencian sering menyamar sebagai “kepedulian”, padahal ia merusak dari dalam. Ketika kebencian merasuki diskusi publik, maka nalar tergantikan oleh prasangka, dan kebenaran dikalahkan oleh dendam.

Islam sangat tegas memperingatkan tentang bahaya menyimpan dan menyebarkan kebencian, karena sifat ini berpotensi mendorong seseorang berlaku tidak adil, bahkan terhadap kebenaran sekalipun.

Allah SWT mengingatkan:

Janganlah kebencian terhadap suatu kaum membuat kalian berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)

Kebencian yang dipelihara akan melahirkan permusuhan abadi, memutus tali silaturahmi, dan menjadikan seseorang buta terhadap kebaikan pihak lain. Sifat ini sering melahirkan sikap “pokoknya salah”, tanpa memberi ruang untuk klarifikasi, tabayyun, atau niat memperbaiki. Jika anak-anak dididik dalam lingkungan yang penuh kebencian, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang curiga, sinis, dan mudah menuduh tanpa fakta.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan kepada kita :

Jangan kalian saling membenci, saling mendengki, dan saling memusuhi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam dunia pendidikan, kebencian bisa muncul dalam banyak bentuk: iri pada prestasi teman, dendam karena konflik sepele, atau fanatisme kelompok yang mematikan objektivitas. Jika tidak ditanamkan nilai adil dan kasih sayang sejak dini, anak-anak bisa terbiasa menyikapi perbedaan dengan kemarahan, bukan dengan pemahaman.

Pendidikan Islam harus berani menjadi penyejuk di tengah panasnya konflik opini. Guru tidak boleh menjadi pembawa opini penuh kebencian, apalagi jika belum jelas duduk perkaranya. Murid harus diajarkan bahwa menyuarakan kebenaran tidak harus dengan kebencian, dan berbeda pendapat tidak harus berujung permusuhan.

Kita perlu menanamkan bahwa hati yang bersih dari kebencian lebih siap menerima kebenaran, dan akal yang bebas dari permusuhan lebih siap menyelesaikan masalah. Itulah pendidikan sejati: membentuk manusia yang kuat logikanya dan lapang jiwanya.

Baca juga : Mendidik Anak dengan Cinta: Mencegah Bullying Sejak Dini

3. Fitnah: Luka yang Ditularkan Tanpa Disadari

Fitnah adalah perbuatan yang meninggalkan luka yang tak terlihat, namun menyebar seperti racun. Ia tak perlu senjata, tak perlu kekuatan fisik, cukup dengan kata-kata yang salah tempat, informasi yang tak diverifikasi, atau asumsi yang dibungkus seolah-olah sebagai kebenaran. Ia bisa bermula dari ruang percakapan santai, unggahan media sosial, atau bisik-bisik antar teman. Tetapi dampaknya bisa memecah belah keluarga, menghancurkan nama baik, bahkan mencabut rasa percaya di antara sesama manusia.

Di era digital, fitnah bukan hanya terjadi di majelis gosip. Ia hidup di kolom komentar, unggahan media sosial, bahkan dalam grup belajar. Ketika informasi belum jelas, tetapi sudah disebarkan dengan bumbu asumsi, itulah benih fitnah.

Islam memandang fitnah sebagai bahaya besar bagi kehidupan individu dan masyarakat.

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan: Fitnah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan. (QS. Al-Baqarah: 191)

Mengapa Allah menyebut fitnah lebih berbahaya dari pembunuhan? Karena fitnah menyakiti banyak orang sekaligus, bukan hanya secara fisik tapi juga secara mental, sosial, dan spiritual. Korbannya bisa tak terhitung, dan kerusakan yang ditinggalkan bisa berlangsung bertahun-tahun — bahkan setelah kebenaran akhirnya terungkap.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.”
(HR. Muslim)

Dalam dunia pendidikan, ini adalah peringatan serius. Betapa banyak anak yang disudutkan karena rumor yang belum tentu benar. Betapa sering guru dinilai sepihak tanpa klarifikasi. Dan betapa mudahnya orang tua atau masyarakat menghakimi berdasarkan potongan-potongan informasi yang tidak utuh.

Baca Juga : HATI-HATI..!! Pujian Kurang Tepat Melemahkan Mental Anak

4. Pendidikan Islam sebagai Benteng Moral

Di tengah kegaduhan isu nasional, sekolah Islam dan lembaga pendidikan memiliki peran penting sebagai penjaga nalar dan penjaga moral umat. Pendidikan tidak boleh ikut terbawa arus kebencian dan fitnah. Ia harus tetap teguh di atas nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kasih sayang.

Sikap ideal seorang pendidik Muslim adalah:

Tabayyun (klarifikasi): Mengajarkan bahwa setiap berita harus dikonfirmasi sebelum dipercaya.

Tatsabbut (kehati-hatian): Mengajarkan untuk menahan diri dari ikut menyebarkan berita yang belum jelas.

Ihsan (berbaik sangka): Menanamkan budaya husnudzan sebagai bagian dari menjaga ukhuwah.

Rasulullah SAW bersabda:

Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menyampaikan segala yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Maka dalam menghadapi isu publik, seorang pendidik tidak hanya mengajak murid berpikir kritis, tetapi juga membentuk hati yang bersih dari dendam dan hasad.

Baca juga : Cara Mendidik Anak Sukses: Orangtua Wajib Hindari 4 Kalimat Ini!

5. Menjadikan Kontroversi sebagai Bahan Refleksi

Alih-alih memperdebatkan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam isu publik, lebih bijak jika dunia pendidikan menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk memperkuat nilai-nilai dalam pembelajaran. Kita bisa bertanya:

Sudahkah sistem pendidikan kita menanamkan kejujuran sejak awal?

Sudahkah guru-guru kita menjadi teladan dalam berpikir adil dan tidak mudah membenci?

Sudahkah kita menjadikan berita sebagai sarana belajar berpikir kritis, bukan bahan memperkeruh suasana?

Baca juga : Spesial Hari Guru ; Menjadi Guru yang Selalu Dirindu, Relevan Sepanjang Zaman

Penutup: Mendidik di Tengah Badai

Pendidikan Islam bukan hanya tugas mengisi kepala, tapi juga mengarahkan hati. Di tengah badai informasi yang tak menentu, kita tidak bisa mengendalikan apa yang beredar. Tapi kita bisa mendidik bagaimana cara menyikapinya. Kita bisa memilih untuk diam saat belum jelas, bertanya saat ragu, dan menahan diri dari komentar yang tak perlu.

Dan itulah wujud dari pendidikan yang sesungguhnya—mendidik manusia untuk menjadi hamba Allah yang bertanggung jawab, jujur, dan menjaga lisannya.

Wallahu a’lam bish shawab-